Badriah Yankie

Resolusi 2020: Menulis 1.000 artikel dalam setahun ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Tidak Cukupkah Kematian Menjadi Sebuah Akhir?

Kematian merupakan hukum alam yang tidak dapat dibantah. Setiap yang hidup akan mati. Demikin pula, setiap manusia yang hidup akan mati. Kematian bisa datang dengan beberapa sebab. Salah satu sebabnya adalah sakit. Khusus masa ini, sakit karena terpapar virus Corona.

Sakit itu sendiri bukan kata yang menyenangkan. Siapapun yang menderita sakit, mengetahui dengan benar seperti apa deritanya. Sakit karena terinfeksi virus Corona, ceritnaya lebih sakit dari sakit yang tersakit.

Pada saat diketahui sakit karena virus Corona, saat itulah mati seolah datang lebih awal. Kamu tidak bisa bersitatap dengan siapapun kecuali dengan jarak paling dekat 2 meter. Pembatasan jarak ini menyakitkan, tentu saja. Seseorang yang sakit, akan merasa sedikit ringan sakitnya ketika mendapatkan sentuhan penuh rasa kemanusiaan. Namun, untuk penderita sakit karena virus Corona, sama sekali tidak boleh ada sentuhan, jangankan menyentuh, berdekatan pun tidak diperkenankan. Perlakuan ini, semakin membuat sakit orang yang secara fisik memang sedang sakit.

Selama sakit dan dipisahkan dari keluarga yang dianggap dapat menyelamatkan orang lain dari terjangkit sakit yang sama. Kalimat ini, menikam sakit menjadi berkali-kali lebih sakit. Kehidupan tanpa bisa dimanusiawikan. Virus Corona melarang siapapun untuk mampu mendekat.

Kematian sudah menjelang semenjak si sakit dipisahkan dari keluarga. Kematian yang sesungguhnya telah terjadi tak lama setelah dokter memutuskan bahwa virus telah merasuk ke dalam tubuh. Pilihan yang dimiliki hanya dua: mati dengan nyawa meninggalkan badan atau mati dengan nyawa masih di badan tapi dijauhi semua orang karena alumni Covid-19 dianggap manusia pembawa virus.

Saat mati menjemput, tubuh yang menjadi cangkang nyawa harus menanggung derita lanjutan. Seseorang yang tak bernyawa akibat keganasan Covid-19 dipandang sebagai bom atom yang bisa meledakkan ketakutan semua orang. Tanah bisa saja menerima jasadnya. Tapi beberapa orang dengan tegas menolak mayat. Penolakan yang sakitnya tidak dirasakan jasad, tapi dirasakan keluarga yang ditinggalkan. Sakit secara rohani, sakit secara mental yang ditanggung semenjak almarhum divonis sakit, dan meninggalkan mereka tanpa tahu apakah bisa bersua atau tidak. Ketika jasad tiba, mereka tdak diberi kesempatna melihat jasad untuk yang terakhir kalinya.

Sakit yang tanpa ujung. Memanjang dalam ketidakjelasan. Akankah kematian menjadi akhir dari segala sakit bagi keluarga?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post